Langsung ke konten utama

My Greymate

Rasanya seperti melihat kekacauan tiada akhir. Ada saja drama di setiap minggu di kelas ini. Seperti hari ini, Viona mencoba untuk merebut gelang barunya dari tangan Yuri. Viona dengan tubuh sepuluh Senti lebih pendek meloncat seperti tupai. Anehnya, teman-teman Viona tertawa melihat aksi malang gadis itu. Apakah seperti itu layak disebut teman?

Jujur saja, kelakuan mereka membuatku kesal. Drama perbucinan yang dikemas dengan aksi jail selalu membuat perutku mulas. Apalagi suara teriakan cukup heboh dari teman-teman Viona. Rasanya, seperti menjadi wayang yang tak sengaja tersenggol dalang dalam sebuah drama. Apakah aku harus benar-benar beraksi untuk menyudahi drama seperti ini?

"Ney?" Seorang lelaki dengan kacamata bulat yang membawa map besar berdiri di sampingku. Tubuhnya menutupi semua drama hari ini. "Kamu belum ngumpulin surat izin orangtua."

"Woy, Rachel awas!" 

Suara teriakan dari Yuri terdengar cukup lantang untuk sekadar memanggil lelaki berkacamata di hadapanku ini. Lalu beberapa detik setelahnya, sebuah buku menghantam kepala Rachel hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyeri.

"Rachel!" Viona berlari, mendatangi Rachel dengan wajah dramatis. "Sorry, aku enggak bermaksud! Suer!"

Rachel menghela napas pelan. Aku memperhatikan drama ini dengan jantung yang berdegup. Entahlah, hanya saja drama kali ini benar-benar terjadi di depan mataku. Aku yang biasa duduk seorang diri, memperhatikan segalanya dengan rasa bosa, seketika mendapatkan atensi dari teman-teman di kelas. 

"Lain kali kalau mau uwuan jangan di kelas." Kata-kata aneh itu meluncur dengan lancar di bibirku. Viona melihatku dengan sudut matanya yang terlihat terkejut dan setelahnya, ada tatapan ketidaksukaan di sana.

"Aku enggak apa. Bener apa yang diomongin Neyra. Rasanya enggak etis kalo kalian ngebucin di kelas setiap hari dan buat yang lain ngerasa enggak nyaman."

Bukan hanya Viona saja yang terkejut. Tapi juga aku dan Yuri yang saat ini sedang tertawa. Tawa Yuri mereda lalu berganti dengan suara tendangan di kursi kosong. Yuri menoleh sekilas ke arahku dan Rachel, lalu ia pergi tanpa sepatah katapun.

Pagi itu benar-benar menjadi waktu yang aku sesali selama hidupku. Karena sejak Rachel menasehati Viona dan Yuri, ah termasuk diriku yang dapat dikatakan menjadi orang yang kali pertama mengikuti masalah ini, kini aku terpaksa mengikuti kelas dengan tatapan Yuri yang sangat membuatku seratus kali lebih risih.

Puncaknya ketika aku sedang dihukum berkeliling bersama dengan sepuluh anak-anak kelas yang lain karena gagal menjawab soal fisika. Memang seperti itu, sanksi yang biasanya diberikan guruku. Cukup menyebalkan karena aku benci kegiatan fisik. Biasanya aku bisa menjawab soal yang diberikan, namun entahlah tatapan Yuri beberapa hari belakangan ini sering membuatku tidak fokus belajar. Aku hanya tidak suka diperhatikan seperti itu.

Bugh. Aku terjatuh. Ada kaki panjang yang dengan sengaja' menarik kakiku dengan samar. Hingga aku terjatuh seperti terantuk sesuatu. Tanganku menyokong tubuh dan membuatnya pedih untuk beberapa menit ke depan. Mereka berhenti berlari dan melihatku penuh minat. 

Aku mendongak ke atas. Senyuman paling aku benci beberapa hari ini menyambut kemalanganku. Tangannya terangkat ke atas lalu ia memandang ke arah guru kami.

"Sepertinya Neyra terluka, Bu."

Aku berusaha untuk berdiri. Namun sial, kaki panjangnya menekan jemariku. Lagi-lagi tindakannya samar hingga tidak ada seorang pun yang tahu. Entahlah, atau memang dari dulu tidak ada yang peduli padaku. 

"Saya izin membawa Neyra ke UKS, Bu. Sepertinya ia sulit untuk berdiri."

Lagi-lagi aku tidak diberikan porsi untuk berbicara. Yuri mengangkat tubuhku dengan tangannya yang berotot dan panjang. Aku takut benar-benar merasakan ketakutan ketika jemarinya mencengkram pinggangku dengan kuat.

"Let's go, sweet heart."

Telingaku seperti berdenging. Aku benar-benar berjalan seperti zombie dan wajahku pias karena Yuri satu-satunya orang yang membawaku ke UKS. 

"Aku bisa sendiri!" 

Aku meninggalkan Yuri. Luka yang kualami tidak meninggalkan rasa sakit yang harus membuatku dirawat. Hingga akhirnya aku kembali berlari dan membubarkan kumpulan teman-teman yang memperhatikan kemalanganku tadi.

Namun, belum sempat setengah putaran lapangan, tubuhku memutar lalu terhempas ke atas dan menabrak dada seseorang. Aku terpias. Karena kali ini seperti drama busuk yang biasanya aku benci dalam serial televisi benar-benar terjadi pada realita diriku. Yuri menarik tanganku dan memaksaku mengikuti langkah kakinya yang lebar. 

Aku tidak ingin banyak bertindak. Sebab ada banyak pasang mata yang kali ini menyoroti kami. Hingga aku akhirnya berani memberontak ketika Yuri mengangkut ku ke UKS.

Aku menarik rambut Yuri dan melebarkan mataku untuk memperlihatkan bahwa kali ini aku benar-benar tidak menyukai perlakuannya!

"Wah," ucap Yuri, tersenyum licik seperti rubah merah dalam drama yang membuatku semakin geram untuk tidak menginjak ekornya.

"Mau jadi jagoan? Mulut kambing! Enggak usah sok di depan semua orang kalo kamu ke sekolah aja masih bau daki!"

Yuri tercengang, lebih tepatnya dengan kalimat yang mungkin absurd di telinganya.

"Ney," Yuri merangkul tubuhku. Aku semakin ketakutan. Saat-saat menyeramkan seperti ini namun petugas UKS justru sedang tidak ada di runganny! Sial! "Sepi, lho. Yakin kamu aman disini?"

Aku mendorong tubuh Yuri dan menjauh beberapa langkah darinya. 

"Justru sama kamu aku jadi enggak ngerasa aman, bego!"

"Mulut kamu kalau lagi enggak ada orang emang suka gitu, ya?"

Lagi-lagi Yuri terkekeh. Seperti serigala di balik rumput yang siap menerkam lawannya.

"Bukan urusan kamu juga! Inget ya Yuri, aku sama sekali enggak bermaksud untuk buat masalah sama kamu! Jadi berhenti gangguin hidup aku cuman perkara--"

"Apa?" Yuri memotong kalimatku. "Perkara bucin? Hahahaha, asal kamu tau ya,  Viona itu mantan pacar Rachel pas mereka SMP. Enggak ada hubungan sama sekali antara aku sama Viona, bego."

"Terus, apa hubungannya sama aku?  Sejak masalah kecil itu, mata kamu yang kayak minus seratus itu enggak berhenti ngeliatin aku terus di kelas!"

"PD amat, Bu? Hahahahahaha...."

Sialan. Yuri benar-benar menguji emosiku!

"Emangnya lucu, ya? Lucu sampe-sampe semua kelakuan enggak jelasmu itu buat nilai aku nge-down?!"



Komentar

Artikel Populer lainnya

TRIP 2   : PEKANBARU FOR THE MY WAY TO MEET NEW SOMETHING (4) Hai, semua. Setelah kemarin aku bercerita tentang petualangan selama tersesat sekarang aku ingin membagikan momen saat menjadi panitia pemira. Agenda sidang masih belarut-larut dan tidak kunjung selesai. masing-masing delegasi angkatan punya pendapat dan nasehat yang terkadang berbenturan dengan pengurus Himakom. Jadi mereka harus mencari titik temu untuk menyelesaikan masalah. Selama itu pula aku mengambil napas untuk keluar dari ruang sidang yang menyesakkan dengan bertemu teman-teman. Tidak kusangka aku bertemu Septi yang saat itu berkunjung ke kampus untuk mengambil KTM. Septi memiliki logat Medan yang khas sehingga aku mudah mengenalinya. Kami mudah bergaul karena mungkin pembawaan Septi yang satu frekuensi denganku. Namun sayang, Septi tidak lama berada di kampus dan harus segera pergi karena suatu urusan. Aku kembali ke ruang sidang dan mengawasi zoom bersama Ica. Saat itu aku mendapatkan pesan dari kak Windi

TIGA SAHABAT : TAMPIL DI ACARA PENSI SMAN 2 SINGINGI HILIR

 Sebelumnya aku adalah anak yang sangat pendiam saat duduk di bangku kelas 1 SD. Namun, itu hanya berlaku dalam interaksi sosial. Jujur, saat di kelas 1 SD aku sangat bersemangat untuk mengangkat tangan dan menjawab pertanyaan dari guru. Sifat pendiamku ini perlahan menghilang, terutama saat aku masuk di bangku SMA. Aku bertemu dengan para siswa yang beragam. Termasuk dua orang dalam foto di atas. Sebut saja mereka Sunna dan Intana. Itu bukan nama asli mereka. Aku hanya menyukai memanggil mereka dengan sebutan itu. Mereka memanggilku dengan nama 'Ndut.' Ya, mungkin saja karena aku sedikit kelebihan berat badan semasa SMA. Aku banyak menghabiskan waktu dengan mereka. Ahahaha, rasanya seperti mengenang kejayaan remaja. Di SMP aku adalah pribadi yang berani, banyak tersandung skandal, eit. Bukan skandal seperti berkencan dengan bos besar apalagi artis! Karena mustahil, desaku itu letaknya jauh sekali dari perkotaan besar. Nah, teman-temanku ini juga salah satu hal yang membuatku s