Langsung ke konten utama

 

SEBUAH NOVEL FIKSI SEJARAH

(Edisi Bersambung) 

 

 LORO

Episode Prolog

Gemericik air  bertanding bebatuan melintas mengikis lemut tebing yang mulai menghijau. Suara kicau burung dalam lebatnya dedaunan di hutan meramaikan riuh angin bercampur suara gemuruh. Terpelanting kemudian terseok-seok bak nenek renta yang dihajar massa. Gadis ringkih dengan bola mata besar berlari tidak tahu arah. Ditertawai oleh riuhan kepakan sayap kalelawar.

Di ujung pepohan randu lelaki bertudung putih mengusap kulit pohon. Raungan para makhluk hutan menyibak kesenyapan dalam waktu yang tidak sepatutnya digunakan untuk beramai-ramai menunjukkan harmoni perang antar pedang. Matanya menyipit ketika melihat siluet seorang gadis ringkih berambut ikal yang tengah berlari dikejar puluhan prajurit berpedang. Tumbuh-tumbuhan yang baru bertunas terkena imbas ganasnya kericuhan malam itu.

"Jinbum!" Gadis itu mengulurkan tangan ke atas. Pedang bersahutan di belakang membelah halang rintang untuk memporak-porandakan isi perut gadis tidak beralas kaki yang mereka kejar.

Pasukan berpedang milik Jinbum--lelaki yang berdiri di atas pohon randu menyerbu puluhan prajurit istana. Denting besi bertubruk--melawan untuk menjatuhkan musuh. Teriakan pilu saling bersahut ulah ujung pedang yang mengoyak organ vital.

"Jinbum!"

Gadis berambut ikal menahan rasa takut yang kian menampar insting untuk mempertahankan hidup. Ia tahu, Jinbum begitu marah pada dirinya yang lebih memihak tersangka atas perbuatan menelantarkan bagian keluarga Istana kerajaan Majapahit. Namun, hati mungilnya begitu memprotes ketika kehidupan yang ia miliki terserang badai panah dari balik semak-semak kering.

Tidak disangka oleh gadis berambut ikal yang melayang--melawan gravitasi. Serbuan panah jatuh tergolek di atas dedaunan kering ketika misi mereka gagal menancapkan racun ke tubuh gadis itu. Ayunan dari tali rotan menjadi tonggak tidak berpenjak pada topografi yang landai dan belum tentu aman bagi mereka.

Jimbum menyelamatkan nyawa dari seorang gadis yang mengaku anak dari seorang Kapten Bumyen. Bagi gadis berambut ikal--Bumyen adalah seorang ayah yang begitu penting dalam hidupnya. Ia patut berterimakasih pada Jinbum atas kemauan dan pengorbanan yang ia lakukan dengan menyelamatkan gadis ringkih menggunakan tali rotan yang sengaja diikat di pohon randu. Mereka masih berayun sampai Jimbum mendarat di bawah semak-semak dedaunan kering yang sengaja dipersiapkan mewanti-wanti jatuh yang tak elok bagi keselamatan badan.

"Informasi apa yang kau dapatkan?"

Bola mata besar menatap Jinbum yang tengah melepas ikatan tali dari tubuhnya. Ia nampak begitu berwibawa walau wajah dan gaya berbicanya sedang tidak menunjukkan sikap terbuka pada gadis itu. Dentingan pedang berebut kemenangan masih terdengar. Jinbum memberi perhatian pada luka terbuka di lengan gadis ringkih hanya dengan menatapnya saja.

"Kau akan menggantikan posisimu ayahmu, Jinbum!"

Tangan Jinbum yang ingin membantu membalut luka gadis dengan kulit kusam berlumuran lumpur hitam tergulai lemah kembali ke asal. Mata sipitnya semakin mengecil--memberi peringatan pada siapa pun agar tidak mendekat.

“Diam! Kau menghancurkan negeriku, namun dengan beraninya kau memberiku bualan palsu?! Ingat, aku menolongmu bukan berarti aku memihakmu, Zahra.”

Mulut gadis ringkih itu terkatup rapat. Aura Jinbum tidak jauh berbeda dengan para prajurit yang berusaha mengambil kepalanya. Sungai berdarah--anyir mengancam wewangian bunga hutan ulah para manusia yang saling berperang. Mereka menubruk, menghunus tak kenal takut demi misi yang segera tercapai.

Jinbum menarik tangan gadis ringkih. Mereka berlari menjauhi medan peperangan. Pasukan pemanah begitu girang melihat target menampakkan diri dari balik pepohonan randu. Rupanya saat itu alam memihak gadis ringkih dan Jinbum yang bertarung nyawa dengan puluhan anak panah yang saling berlomba menusuk tubuh mereka.

 

Ranting pepohonan saling berjatuhan--menciptakan hujan ranting di tengah malam yang dini. Anak panah menusuk kecewa ranting yang tergolek bukan target mereka. Sesekali gadis ringkih menoleh ke belakang--memantau keadaan yang kian ricuh tidak kunjung tenang.

"Fokus!" Jinbum membentaknya.

Mereka masih berlari melewati semak-semak kering berduri. Gadis berambut ikal terjebak dalam nuansa romantis yang seharusnya tidak pernah ia pikirkan. Sejarah mencatat jika nantinya sosok pemuda yang kini bersamanya akan menjadi orang besar. Namanya akan diabadikan sepanjang hidup. Bahkan para generasi bangsa akan mempelajari lika-liku kehidupan yang ia alami. Tidak termasuk dalam berlarian di tengah hutan dengan seorang gadis asing tentunya.

Gemuruh memberontok angkasa. Rintik hujan mulai turun disusul petir yang saling menyambar. Jalanan yang licin tidak terelokan untuk dilewati. Alhasil, gadis ringkih terjatuh membawa kegeraman bagi Jinbum. Menyesal tiada arti untuk memarahi dia yang terlanjur tersesat dalam limbah membahayakan. Jinbum berhenti--menarik tubuh gadis berambut ikal yang kian kotor bermandikan lumpur baru.

"Maaf," katanya.

"Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Pasukanku mungkin bisa menahan mereka, tetapi tidak semuanya."

Jinbum memapah gadis berambut ikal. Dia membawanya ke sebuah pohon besar yang memiliki celah sempit di bawah. Itulah pintu rahasia yang selama ini menjadi penghubung antara markas Jinbum dengan wilayah kerajaan Majapahit yang kini dikuasi Raja Kerthabumi.

"Bagaimana dengan lukamu?"

Jinbum terdiam. Rupanya duri yang ia dapati di sepanjang jalan telah diketahui gadis berambut ikal dengan bola mata yang besar. Lelaki itu membantu gadis menuruni tangga kecil menuju terowongan bawah tanah. Suara jangkrik menyambut rentak kaki berkecap-kecap dengan alunan air yang membelai kaki telanjang gadis ringkih.

"Kau terluka!"

Jinbum masih terdiam.

"Kau tidak boleh terluka!"

Kini mata sipit memberikan perhatian pada mata besar. "Aku juga manusia. Berhenti berceloteh dan sebentar lagi aku akan membawamu ke padepokan."

"Jinbum," panggil gadis itu. Mereka berhenti setelah sampai di penghujung tangga. "Aku sebenarnya bukan bagian dari duniamu."

Di dalam terowongan begitu pengap. Sulit rasanya untuk mendapatkan belaian angin. Terlebih, dengan kalimat gadis berambut ikal yang tanpa disertai alasan spesifik membuat Jinbum semakin gerah.

"Kau tidak mengerti kalimatku, ya? Berhenti berceloteh! Dan asalmu, kau kan anak angkat Kapten Bum. Jangan mengulas fakta dalam keadaan genting seperti ini!"

Jinbum melangkah lebih dulu. Namun, gadis ringkih kembali membuka suara yang membuat langkah Jinbum tertunda.

"Aku bukan keturunan yang lahir di masa ini, tetapi... aku dari masa di mana kau hanyalah sebuah sejarah bagiku."


Komentar

Artikel Populer lainnya

TRIP 2   : PEKANBARU FOR THE MY WAY TO MEET NEW SOMETHING (4) Hai, semua. Setelah kemarin aku bercerita tentang petualangan selama tersesat sekarang aku ingin membagikan momen saat menjadi panitia pemira. Agenda sidang masih belarut-larut dan tidak kunjung selesai. masing-masing delegasi angkatan punya pendapat dan nasehat yang terkadang berbenturan dengan pengurus Himakom. Jadi mereka harus mencari titik temu untuk menyelesaikan masalah. Selama itu pula aku mengambil napas untuk keluar dari ruang sidang yang menyesakkan dengan bertemu teman-teman. Tidak kusangka aku bertemu Septi yang saat itu berkunjung ke kampus untuk mengambil KTM. Septi memiliki logat Medan yang khas sehingga aku mudah mengenalinya. Kami mudah bergaul karena mungkin pembawaan Septi yang satu frekuensi denganku. Namun sayang, Septi tidak lama berada di kampus dan harus segera pergi karena suatu urusan. Aku kembali ke ruang sidang dan mengawasi zoom bersama Ica. Saat itu aku mendapatkan pesan dari kak Wi...

TIGA SAHABAT : TAMPIL DI ACARA PENSI SMAN 2 SINGINGI HILIR

 Sebelumnya aku adalah anak yang sangat pendiam saat duduk di bangku kelas 1 SD. Namun, itu hanya berlaku dalam interaksi sosial. Jujur, saat di kelas 1 SD aku sangat bersemangat untuk mengangkat tangan dan menjawab pertanyaan dari guru. Sifat pendiamku ini perlahan menghilang, terutama saat aku masuk di bangku SMA. Aku bertemu dengan para siswa yang beragam. Termasuk dua orang dalam foto di atas. Sebut saja mereka Sunna dan Intana. Itu bukan nama asli mereka. Aku hanya menyukai memanggil mereka dengan sebutan itu. Mereka memanggilku dengan nama 'Ndut.' Ya, mungkin saja karena aku sedikit kelebihan berat badan semasa SMA. Aku banyak menghabiskan waktu dengan mereka. Ahahaha, rasanya seperti mengenang kejayaan remaja. Di SMP aku adalah pribadi yang berani, banyak tersandung skandal, eit. Bukan skandal seperti berkencan dengan bos besar apalagi artis! Karena mustahil, desaku itu letaknya jauh sekali dari perkotaan besar. Nah, teman-temanku ini juga salah satu hal yang membuatku s...

My Greymate

Rasanya seperti melihat kekacauan tiada akhir. Ada saja drama di setiap minggu di kelas ini. Seperti hari ini, Viona mencoba untuk merebut gelang barunya dari tangan Yuri. Viona dengan tubuh sepuluh Senti lebih pendek meloncat seperti tupai. Anehnya, teman-teman Viona tertawa melihat aksi malang gadis itu. Apakah seperti itu layak disebut teman? Jujur saja, kelakuan mereka membuatku kesal. Drama perbucinan yang dikemas dengan aksi jail selalu membuat perutku mulas. Apalagi suara teriakan cukup heboh dari teman-teman Viona. Rasanya, seperti menjadi wayang yang tak sengaja tersenggol dalang dalam sebuah drama. Apakah aku harus benar-benar beraksi untuk menyudahi drama seperti ini? "Ney?" Seorang lelaki dengan kacamata bulat yang membawa map besar berdiri di sampingku. Tubuhnya menutupi semua drama hari ini. "Kamu belum ngumpulin surat izin orangtua." "Woy, Rachel awas!"  Suara teriakan dari Yuri terdengar cukup lantang untuk sekadar memanggil lelaki berkacam...