Keranda kematian itu berkeliling desa. Diikuti barisan dengan pakaian hitam yang menjalar hingga ke belakang—hampir bersentuhan dengan perbatasan sungai di desa seberang. Orang-orang memanggul tampah dengan sayuran dan buah-buahan yang diletakkan secara melingkar. Aroma dupa menyentuh langit-langit barisan. Mengelilingi tiap orang yang melintas dan menempel seperti partikel kecil yang tidak nampak di mata. Keranda itu diletakkan di atas jembatan yang lebarnya hanya bisa memuat lima orang. Seorang pria paruh baya dengan pakaian hitamnya mengambil tampah makanan, diletakkan di depan keranda dan disematkan kalimat-kalimat seperti doa.
Suara tangis menyeruak, dari satu menjalar hingga dua, kemudian seperti aliran listrik yang saling menyetrum dan menghubungkan. Barisan hitam dibanjiri isak tangis yang baru berkesudahan usai pria dengan pakaian serba hitam dan tampah makanan berhenti menyematkan kalimat-kalimat seperti rapalan mantra dan doa. Pria itu menebarkan makanan ke barisan terdepan. Memukulkan tampahnya berulang kali hingga makanan itu berserakan di atas kepala barisan. Layaknya manusia setengah patung—mereka hanya diam dan menerima jika pria hitam melemparkan makanan ke arah mereka. Sesekali potongan daging mentah yang berhenti di depan muka. Dan sesekali pecahan telur membuat biru di kepala.
Keranda kematian kembali digerakkan. Mereka kembali berjalan menuju sebuah hutan yang ditutupi rimbunnya dedaunan. Barisan dupa mengelilingi tepi hutan. Kepulan asap yang setiap hari seperti tiada henti. Barisan itu meletakkan keranda kematian, mengelilingi dengan rapalan kata-kata yang dipimpin pria hitam.
“Alam dunia dengan randu diterpa anginnya yang lembut. Membumbung asap di lembaian yang tertiup. Ambil aku ambil aku padamu. Makmur! Makmur! Makmur! Makmur janjimu! Sembahku abdiku!”
Barisan itu menggeleng-geleng seperti tarian tanpa musik. Hanya diiringi rapalan kalimat yang sama dengan kepulan dupa yang semakin menebal. Keranda kematian itu terbuka dengan kencang ketika angin melintas di atasnya. Barisan hitam menunduk masih dengan rapalan kalimat yang sama. Hingga kemudian semua terdiam. Keranda kematian kembali tertutup dan barisan hitam menyeringai satu dengan yang lain.
“Cut!” Pria yang tadinya menjadi pemimpin doa bertepuk tangan. “Kerja bagus, tim!” Ia bersama dengan barisan yang lain bersorak riang. Keranda itu tertutup dengan alat yang sudah terkontrol. Beberapa orang membersihkan dupa dan pakaian yang tadinya bersimbah dengan makanan.
“Ini bakalan jadi video eksplor ritual kita yang paling epik, deh.” Kepala barisan mengomentari. Ia terdiam ketika melihat sebuah keranda dengan kain hitam yang berada sekitar sepuluh meter dari mereka. Ia terdiam. “Kalian bawa dua keranda?”
“Hah? Ya enggak, lha! Properti keranda yang dibutuhkan cuman satu.”
Pria itu terdiam. Dia berpikir jika ritual buatan ini akan mendatangkan sesuatu yang datang dari tempat yang tidak mereka ketahui. Keranda kematian itu terbuka dengan perlahan—memperlihatkan sosok hitam yang menyeringai dari dalam.
END
Komentar