Konichiwa!
Hari
ini aku rasanya lagi enggak baik-baik aja, nih. Aku mulai bertanya-tanya kemana
nantinya arah hidupku dan mulai membandingkan dengan orang-orang di
sekelilingku. Rasanya, dunia berputar begitu cepat, tapi aku berjalan terlalu
lambat.
Tahun
ini, aku genap berusia 23 tahun. Aku baru saja lulus kuliah dan saat ini bisa
dibilang aku menjadi jobseeker ya kek pencari kerja gitu deh, lebih singkatnya
aku saat ini pengangguran. Kata-kata ironi yang dulu paling aku hindari. Dulu,
aku melihat beberapa orang di kampungku yang pulang dari kota setelah kuliah
menganggur atau menjadi pengajar di sekolah.
Saat
ini, orang yang sudah siap kuliah itu adalah aku. Rasanya aku tidak percaya
setelah bekerja keras setelah lulus SMA membayangkan karir cemerlang saat lulus
kuliah dan aku melihat hidupku yang sekarang, sungguh aku ingin menangis.
Mungkin perasaan ini diperparah juga menjelang hari menstruasiku, seperti saat
ini. Aku lebih melankolis dan tiba-tiba saja menangisi kondisiku ini.
Tadi
pagi, Kakak kedua menghubungi dan mengajakku berenang. Aku sangat senang
membaca pesan itu dan memikirkan tubuhku hanyut di dalam air dan mengibaskan
ayunan kaki dengan santai lalu muncul di permukaan dengan wajah tanpa beban.
Jujur saja, aku memang sangat suka berenang dari kecil. Jika ada yang
menawarkan opsi berenang di liburan, maka aku akan memilihnya.
Namun,
kali itu aku tersadarkan sesuatu. Uang simpnanku sudah mulai habis. Pekerjaanku
luntang-lantung tidak jelas. Panggilan kerja dari perusahaan incaran juga belum
ada titik terang. Di saat memikirkan semua itu, aku teringat diriku yang dari
dulu bisa dibilang aku tidak pernah kekurangan uang. Mungkin ada beberapa, tapi
sangat jarang, seringkali ketika uangku mulai berkurang, selalu ada pemasukan
yang lain.
Sejak
lulus SMA, aku aktif menulis dan mendaftar beasiswa di kampus tujuan. Setelah
mendapatkan beasiswa pendidikan dan kebutuhan hidup, aku juga disokong dengan
pekerjaan part time yang bermacam-macam.
Mulai dari asisten dosen, penulis konten, voice over di media, pemandu acara,
hingga penyiar radio. Rasanya, hari-hariku berjalan dengan sokongan yang
membuatku terkadang merasa tenang jika ada masalah. Karena sekali lagi, uang
memang bukan segalanya, namun segalanya butuh uang, kan?
Jika
aku ingin berlibur, maka aku tinggal menentukan hari apa aku akan berlibur. Aku
tidak khawatir soal keuangan, karena lagi-lagi aku juga punya sokongan. Oleh
sebab itu, rasanya aku tidak berdaya untuk sekarang. Aku merasa menjadi manusia
yang tidak punya sokongan. Bahkan untuk pergi ke kolam renang dengan biaya
masuk 10.000 saja aku harus menangis terlebih dahulu saat ini.
Jika
kamu menanyakan dimana orangtuaku, iya mereka ada. Kenapa tidak minta saja pada
mereka? Tidak, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku meminta uang dengan
keadaan seperti ini. Aneh sekali, ya, di saat dulu aku masih kuliah justru aku
bisa memberi orangtuaku uang dan meminjamkan saudaraku beberapa uang, belum
lagi aku suka membelikan sesuatu untuk adikku dan keponakanku, dan jika pulang
kampung, aku tidak pernah pulang tanpa membawa sesuatu di tanganku. Singkatnya,
dulu aku berkecukupan.
Rasa
tidak berdaya dan tidak memiliki pegangan ini membuatku rasanya tercekik. Aku
benci situasi ini, namun aku juga tidak bisa berbuat banyak. Aku sudah berpuluh
kali mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan, namun hingga
sekarang belum ada titik terang aku akan bekerja. Aku seperti orang yang
terluntang-lantung. Stres dan terkadang merasa tidak berguna. Aku juga segan
meminta uang pada orangtuaku karena rasanya aku sudah cukup dewasa untuk
meminta dan rasanya mungkin akan sombong aku mengatakan ini, tapi ketika aku
terbiasa memberi untuk orangtuaku dan ketika aku ingin meminta, sungguh rasanya
tidak karuan dan sangat malu sekali.
Hal
ini juga ikut diperparah dengan predikat sarjana pertama di keluarga. Orangtuaku
dulu pesimis bisa mengkuliahkan diriku. Namun, dengan semangat giat yang
luarbiasa, aku berhasil menarik hati mereka hingga sekarang aku menyandang
gelar S.I.Kom di belakang namaku. Oleh sebab itu, setelah lulus banyak sekali
harapan yang digantung di dalam hidupku. Ekspektasi orangtuaku sangat besar
sekali begitupun aku.
Dari
mulai awal kuliah aku sudah memperlihatkan diriku yang begitu ambis belajar,
bertanya, dan aktif di kelas. Aku sudah terbiasa dengan semangat belajar yang
demikian sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Atau SD? SMP?
Hahahahaha, entahlah, singkatnya aku sudah terbiasa dengan ekspektasi
orang-orang. Namun, dulu aku bisa membuktikan diriku bisa. Aku aktif di kelas,
namun aku juga produktif menghasilkan uang dari pekerjaan paruh waktu.
Hingga,
ekspektasi itu sekarang seperti menggerogoti tubuhku. Aku seperti insecure melihat diriku sendiri. Aku
melihat bayangan seorang Anisa Tri Sari yang bersinar di masa lalu. Memegang
piala, sertifikat, penghargaan, dan menjadi narasumber di beberapa tempat.
Namun, lihatlah dia sekarang?
Bangun
jam tiga subuh saja harus dipertanyakan? Jangankan bangun di jam itu, sudah
tidur pun sepertinya belum. Menjelang dzuhur dia baru membasuh mukanya dan memulai
hari. Bisa dibilang, manusia ambis yang dulunya sering digadang-gadang akan
menjadi orang bersinar, sekarang sedang tertidur dan kekurangan sapaan mentari.
Bahkan dirinya mulai kalut dan menangis tanpa jelas tentang hidupnya saat ini.
Sesekali
aku memuka sosial media, aku melihat si A yang dulu mengeluh saja tentang
perkuliahan, tentang dosennya, tentang temannya dan organisasinya sekarang sudah
bekerja. Atau si B yang kemarin mengeluh belum mendapatkan pekerjaan padahal
prestasinya segudang, lalu belum lama dia mengabari diterima di sebuah instansi
yang lumayan besar. Atau mungkin si C yang jarang mengeluh tentang hidupnya,
sekarang bekerja di salah satu instansi kecil dengan gaji yang mungkin pas-pas
an untuk dirinya, tapi setidaknya dia menghasilkan, kan?
Aku
benar-benar menangisi diriku. Beberapa kali ingin bersumpah serapah. Kenapa
dulu ketika aku sedang bekerja sembari kuliah, aku tidak memikirkan untuk
berbisnis. Setidaknya, setelah kuliah dan pekerjaanku habis kontrak, aku
memiliki side job yang bisa aku kelola sendiri. Bukan menunggu arahan dari
atasan terlebih dahulu seperti ini.
Semua
jadi berandai-andai. Iya, seperti andai saja dulu saat aku punya modal aku
menggunakannya untuk bisnis A. Tidak seperti sekarang, jangankan modal,
syukur-syukur aku masih bisa jajan saja sudah syukur. Lagipula jika dipikirkan
lebih dalam lagi, aku tidak tahu bisnis apa yang harus aku jalani juga.
Pakaian? Aku tidak se-fashionista itu si, makanan? Skill memasakku payah sekali. Minuman? Apa ya? Oke kita keep ini juga bisa.
Jadi,
aku akan kembali ke blog ini untuk menulis nasibku kedepannya. Bagaimana
hidupku, kegiatanku, karirku. Ya, doakan ya secepatnya aku segera mendapatkan
pekerjaan dan bebas dari cengkraman pengangguran yang mencekik ini. Aku sungguh
berharap, bisa menjadi sarjana yang berguna, setidaknya untuk diriku sendiri
dan keluargaku. Tolong aku ya Allah…!!!

Komentar